Satu jam setengah yang lalu aku baru saja meninggalkan tanggal hari ulang tahunku yang ke-21, jadi satu setengah jam yang lalu, secara resmi aku meninggalkan 20 tahun kehidupanku yang lalu menuju kehidupanku kedepan yang baru. Aku jujur saja tidak suka merayakan ulang tahun, karena bagi saya, hal itu tidaklah terlalu penting. Lha wong tambah mendekati kematian kok dirayakan. Ya memang seharusnya kita bersyukur karena masih diberi umur panjang, tapi kan bersyukur tidak harus pada tanggal kelahiran saja, seharusnya setiap hari, setiap detik kita bersyukur karena kita masih diberi umur panjang. Tentang harapan dan doa-doa itu kan bisa kita ucapkan setiap saat, tidak harus menunggu datangnya tanggal ulang tahun kita. Ironisnya lgi, ada saja yang merayakan tanggal kelahiran mereka dengan menghabiskan uang sebegitu banyaknya, sampai ratusan juta, bahkan milyaran. Apa tidak mubazir hal seperti itu? lebih baik disumbangkan saja ke fakir miskin, jelas berkahnya.
Sebenarnya siapa sih yang memulai perayaan ulang tahun? apa dasarnya? bagaimana pandangan agama saya, islam tentang perayaan ulang tahun ini?
Setelah saya googling-googling dari berbagai sumber, akhirnya ada beberapa jawaban yang saya dapat, yaitu dari Pustaka Al-Atsar dan blognya Sdr. Rahmat,
Anda pasti pernah mendapat undangan perayaan ulang tahun dari keluarga, teman, rekan kerja, relasi bisnis, atau orang tuanya teman anak-anak kita. Anda mungkin memenuhinya atau mungkin juga tidak, tentunya dengan bermacam-macam alasan. Atau mungkin anda sendiri pernah merayakan hari ulang tahun anda atau anak-anak anda, entah dengan pesta sederhana sampai pesta yang meriah atau dengan acara do’a dan tausiah, atau dengan bentuk-bentuk lainnya yang menurut anda baik.
Pertanyaan tentang “bagaimana sih hukum ulang tahun menurut islam?” sudah sering ditanyakan oleh kaum muslimin. Perdebatan di dunia maya maupun dunia nyata sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, masing-masing mengusung argumentasi, yang ujung-ujungnya berakhir dengan kondisi “masing-masing”. Tidak ada kesimpulan yang bisa meyakinkan satu sama lain. Yang berkeyakinan tidak boleh seringkali tidak mempunyai argumentasi yang mantab. Yang berkeyakinan boleh pun sebenarnya ada ganjalan di hatinya. Itulah Fitrah dan Hawa Nafsu. Fitrah manusia yang lurus akan selalu berusaha mencari kebenaran untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya. Sedangkan Hawa Nafsu tabiatnya adalah selalu mengajak kepada hal-hal yang menyenangkan dirinya.
Pertanyaan seperti ini sebenarnya merupakan bentuk perhatian dan kecemburuan (ghiroh) terhadap agamanya. Nah, jika anda merasa mempunyai rasa kecemburuan terhadap agama yang mulia ini (Islam), mudah-mudahan risalah sederhana ini dapat membantu menjelaskan perkara ulang tahun ini dengan jelas, sehingga anda pun tidak ragu-ragu lagi dengan hukumnya.
Dari Mana dan Untuk Apa?
Pengetahuan tentang asal-usul sesuatu akan membantu untuk memahami hakikat adanya sesuatu itu. Apa latar belakangnya, apa tujuannya, hal-hal apa yang berkaitan dengannya, dan berbagai informasi lainnya. Demikian juga tentang ulang tahun ini. Dengan mengetahui asal-usul acara ulang tahun ini, akan menjadi jelaslah ketika hukumnya ditetapkan, dan akan menjadi indah ketika hikmahnya ditemukan.
Penelusuran asal-usul perayaan ulang tahun akan banyak ditemukan dalam situs-situs berbahasa inggris, salah satunya ditemukan dalamhttp://wiki.answers.com/Q/What_is_the_origin_of_birthday_celebrations, yang kemudian diterjemahkan sebagai berikut:
Dalam buku The Encyclopaedia Americana edisi 1991 menyebutkan: Dunia Mesir kuno, Yunani, Roma, dan Persia telah merayakan hari kelahiran Tuhan-tuhan, Raja-raja, dan para ksatria. Ralp dan Adelin Linton mengungkapkan hal ini dalam buku mereka yang berjudul The Lore of Birthdays. Dalam buku tersebut mereka menuliskan: Mesopotamia dan Mesir, yang merupakan tempat kelahiran peradaban, juga merupakan tempat pertama dimana para laki-laki mengingat dan memuliakan hari kelahiran mereka. Menjaga catatan hari kelahiran menjadi prinsip yang sangat penting pada masa itu karena tanggal kelahiran sangat penting untuk menjatuhkan ramalan.Jadi ada hubungan langsung antara praktek perayaan hari kelahiran Paganisme dengan Astrologi (ilmu perbintangan dan peramalan nasib).
Perhatikan apa yang ditulis dalam Injil tentang ilmu perbintangan dan peramalan nasib (Yesaya 47:13-15): Engkau telah payah karena banyaknya nasihat! Biarlah tampil dan menyelamatkan engkau, orang-orang yang meneliti segala penjuru langit, yang mnilik bintang-bintang dan yang pada setiap bulan baru memberitahukan apa yang akan terjadi atasmu! Sesungguhnya, mereka sebagai jermai yang dibakar api; mereka tidak dapat melepaskan nyawanya dari kuasa nyala api; api itu bukan bara api untuk memanaskan diri, bukan api untuk berdiang! Demikianlah faedahnya bagimu dari tukang-tukang jampi itu, yang telah kaurepotkan dari sejak kecilmu; masing-masing mereka terhuyung-huyung ke segala jurusan, masing-masing mereka terhuyung-huyung ke segala jurusan, tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau.
Tidak mengherankan jika kaum Yahudi kuno tidak merayakan hari kelahiran karena mereka menganggap hal itu adalah Paganisme. Begitu juga di dalam buku The World Book Encyclopaedia Volume 3 halaman 416, menyebutkan bahwa kaum Kristen di masa awal tidak merayakan hari kelahiran Yesus karena mereka menganggap bahwa perayaan hari kelahiran adalah tradisi Paganisme.
Pada masa Herodeslah acara ulang tahun dimeriahkan sebagaimana tertulis dalam Injil Matius: Tetapi pada HARI ULANG TAHUN Herodes, menarilah anak Herodes yang perempuan, Herodiaz, ditengah-tengah meraka akan menyukakan hati Herodes. (Matius 14 : 6). Orang Nasrani yang pertama kali mengadakan pesta ulang tahun adalah orang Nasrani Romawi. Beberapa batang lilin dinyalakan sesuai dengan usia orang yang berulang tahun. Sebuah kue ulang tahun dibuatnya dan dalam pesta itu, kue besar dipotong dan lilinpun ditiup. (Baca buku Parasit Aqidah. A.D. El. Marzdedeq, Penerbit Syaamil, hal. 298)
Dalam pencarian lainnya, tulisan-tulisan yang dimuat tidak lepas dari buku The Lore of Birthdays karangan Ralp dan Adelin Linton. Salah satu kutipan dari buku tersebut adalah: “The Greeks believed that everyone had a protective spirit or daemon who attended his birth and watched over him in life. This spirit had a mystic relation with the god on whose birthday the individual was born.” (Orang-orang Yunani meyakini bahwa setiap orang mempunyai arwah atau jin yang menjaganya yang hadir pada hari kelahirannya dan mengawasinya sepanjang hidupnya. Arwah ini mempunyai hubungan mistis dengan dewa pada saat hari dimana seseorang dilahirkan).
Hukum Merayakan Ulang Tahun
Perayaan ulang tahun atas kelahiran seseorang atau suatu organisasi tertentu tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Karena itu bila dilakukan, tidak bernilai ibadah.
Cukup banyak ulama tidak menyetujui perayaan ulang tahun yang diadakan tiap tahun. Tentu mereka datang dengan dalil dan hujjah yang kuat. Di antara alasan penolakan mereka terhadap perayaan ulang tahun antara lain:
2. Ulang tahun adalah produk Barat/ non muslim
Selain itu, kita tahu persis bahwa perayaan uang tahun itu diimpor begitu saja dari barat yang nota bene bukan beragama Islam. Sedangkan sebagai muslim, sebenarnya kita punya kedudukan yang jauh lebih tinggi. Bukan pada tempatnya sebagai bangsa muslim, malah mengekor Barat dalam masalah tata kehidupan.
Seolah pola hidup dan kebiasaan orang Barat itu mau tidak mau harus dikerjakan oleh kita yang muslim ini. Kalau sampai demikian, sebenarnya jiwa kita ini sudah terjajah tanpa kita sadari. Buktinya, life style mereka sampai mendarah daging di otak kita, sampai-sampai banyak di antara kita mereka kurang sreg kalau pada hari ulang tahun anaknya tidak merayakannya. Meski hanya sekedar dengan ucapan selamat ulang tahun.
3. Apakah Manfaat Merayakan Ulang Tahun?
Selain itu perlu juga kita renungkan sebagai muslim, apakah tujuan dan manfaat sebenarnya bisa kitadapat dari perayaan ini? Adakah nilai-nilai positif di dalamnya? Ataukah sekedar meneruskan sebuah tradisi yang tidak ada landasannya? Apakah ada di antara tujuan yang ingin dicapai itu sesuatu yang penting dalam hidup ini? Atau sekedar penghamburan uang?
Yang terkahir namun tetap penting, bila ternyata semua jawaban di atas positif, dan acara seperti itu menjadi tradisi, apakah tidak akan menimbulkan salah paham pada generasi berikut seolah-olah acara seperti ini ‘harus’ dilakukan? Hal ini seperti yang terjadi pada upacara peringat hari besar Islam baik itu kelahiran, isra` mi`raj dan sebagainya.
Jangan sampai dikemudian hari, lahir generasi yang menganggap perayaan ulang tahun adalah ‘sesuatu’ yang harus terlaksana. Bila memang demikian, bukankah kita telah kehilangan makna?
Kalau menimbang-nimbang pernyataan di atas, ada baiknya kita yang sudah terlanjur merayakan ulang tahun buat anak atau bahkan untuk diri kita sendiri melakukan evaluasi besar.
Bolehlah dibuat acara khusus untuk penyampaian pesan ini, agar terasa ada kesan tertentu di dalam diri si anak. Bahwa sejak hari itu, dirinya telah mendapatkan sebuah tugas resmi, yaitu diperintahkan untuk shalat.
Nanti di usia 10 tahun, hal yang sama boleh dilakukan lagi, yaitu sebagaimana perintah Rasulullah SAW untuk menambah atau menguatkan lagi perintah shalat. Kali ini dengan ancaman pukulan bila masih saja malas melakukan shalat. Bolehlah diadakan suatu acara khusus di mana inti acaranya menetapkan bahwa si anak hari ini sudah berusia 10 tahun, di mana Rasulullah SAW membolehkan orang tua memukul anaknya bila tidak mau shalat.
Kira-kira usia 15 tahun lebih kurangnya, ketika anak pertama kali baligh, boleh juga diadakan acara lagi. Kali ini orang tua menegaskan bahwa anak sudah termasuk mukallaf, sehingga semua hitungan amalnya baik dan buruk sejak hari itu akan mulai dicatat. Bolehlah pada hari itu orang tua membuat acara khusus yang intinya menyampaikan pesan-pesan ini.
Jadi bukan tiap tahun bikin pesta undang teman-teman, lalu tiup lilin, potong kue, bernyanyi-nyanyi, memberi kado. Pola seperti ini sama sekali tidak diajarkan di dalam agama kita dan cenderung tidak ada manfaatnya, bahkan kalau mau jujur, justru merupakan cerminan dari sebuah mentalitas bangsa terjajah yang rela mengekor pada tradisi bangsa lain.
Bukankah Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari padanya? Lalu mengapa kita bangsa Islam ini harus mengekor pada tradisi bangsa lain yang jauh lebih rendah?
No comments:
Post a Comment